Pangkalpinang, Bangka Belitung — Sebuah kolaborasi riset lintas disiplin dan institusi tengah berlangsung di Pulau Bangka dalam upaya menyelamatkan salah satu spesies ikan endemik yang paling langka di Pulau Bangka, Betta burdigala. Riset bertajuk “Breeding Sanctuary Betta burdigala” ini dipimpin oleh Ahmad Fahrul Syarif, S.Pi., M.Si., peneliti sekaligus dosen dari Program Studi Akuakultur, Universitas Bangka Belitung (UBB).
Proyek ini bukan hanya tentang budidaya ikan, tetapi merupakan gabungan antara konservasi ex-situ melalui program pemuliaan (breeding) dan konservasi in-situ dengan perlindungan habitat alami terakhir Betta burdigala di Pulau Bangka, yang kini semakin terancam akibat tambang timah, alih fungsi lahan, dan pencemaran lingkungan.
Tim riset ini terdiri dari Fitri Sil Valen, dosen akuakultur UBB yang berfokus pada konservasi genetik ikan lokal, Dr. Jeanne Darc Noviayanti Manik dari Fakultas Hukum UBB yang berperan dalam aspek regulasi dan perlindungan hukum habitat, serta kolaborator nasional dari BRIN, Muhammad Hunaina Fariduddin Aththar dari Research Center for Applied Zoology, National Research and Innovation Agency (BRIN), yang dikenal sebagai pakar breeding dan reproduksi ikan lulusan dari Wageningen University, Belanda.
“Breeding sanctuary ini bukan sekadar tempat pemijahan, tapi juga menjadi benteng terakhir pelestarian genetik Betta burdigala yang hanya bisa ditemukan di ekosistem rawa gambut Bangka,” jelas Ahmad Fahrul Syarif, ketua tim peneliti.
Untuk Breeding sendiri juga melibatkan mahasiswa "Reza ramadani" yang sudah sangat ahli di bidang breeding Betta burdigala, dari farm kecilnya mampu menhasilkan lebih dari 300 ekor anakan Betta burdigala yang siap untuk di lepas-liarkan ke habitat alami. Bagi Reza, betta burdigala bukan hanya sekedar spesies, tapi sudah seperti anak sendiri, membantu mereka berkembang dan kemudian melepaskan ke alam untuk mendapatkan kehidupan yang seharusnya mereka dapatkan.
Riset ini secara strategis menyatukan keilmuan akuakultur, hukum lingkungan, dan bioteknologi perikanan, sehingga menjadi model riset terpadu yang dapat direplikasi untuk spesies endemik lainnya yang mengalami ancaman serupa.
“Konservasi tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Kita perlu pendekatan ilmiah, dukungan kebijakan, dan penguatan basis masyarakat. Inilah semangat kolaborasi yang kami bangun dalam proyek ini,” tambah Dr. Jeanne Darc Noviayanti Manik.
Selain membangun sistem breeding terkontrol di laboratorium, tim juga secara aktif memetakan habitat alami Betta burdigala, melakukan monitoring kualitas air, dan menyusun rancangan perlindungan habitat legal berbasis hukum lokal dan nasional.
“Langkah ini penting agar hasil breeding tidak hanya bertahan di laboratorium, tapi juga bisa memperkuat populasi alam jika suatu saat dilakukan reintroduksi,” jelas Muhammad Hunaina Fariduddin Aththar.
Dengan kolaborasi ini, UBB dan BRIN menegaskan komitmennya dalam menyelamatkan warisan hayati lokal yang tak tergantikan. Proyek Breeding Sanctuary Betta burdigala diharapkan menjadi model konservasi terpadu yang menggabungkan sains, kebijakan, dan aksi nyata di lapangan.
